TEMPO.CO, Yogyakarta – Perkembangan pesat teknologi media komunikasi diduga menjadi faktor pendorong maraknya perilaku remaja Indonesia untuk menjadi aktor dadakanvideo porno amatir.
Hasil pengamatan terhadap 100 video pornoIndonesia berdurasi 9-10 menit, sebanyak 90 persen pelaku merupakan anak muda. Sebanyak 76,3 persen memperlihatkan kegiatan seksual dan 91,4 persen pembuatan film dilakukan di ruangan tertutup.
“Kebanyakan remaja itu senang memproduksi filmnya di hotel atau tempat kos,” kata Peneliti Pusat Studi Kependudukan & Kebijakan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Basilica Dyah Putranti, usai diskusi publik bertema “Remaja, Media dan Pornografi”, Rabu 28 Maret 2012.
Dari penelitian tersebut, Basil menilai sangat sedikit relasi yang menunjukkan adanya unsur keterpaksaan. »Hampir 64 persen film amatir itu memperlihatkan perempuan yang berinisiatif saat berhubungan seksual,” kata dia.
Sementara itu, 71 persen gambar film memperlihatkan hubungan seksual anak muda tanpa sehelai benang. Aktivitas seksual lain yang bisa dibaca dari video amatir ini, 51,6 persen intercourse, 11 persen oral sex, lain-lain potongan adegan ciuman, mandi, striptease dan beberapa pelaku berseragam,” kata dia.
Meski demikian, Basilica mengatakan metodologi penelitian yang dilakukan pihaknya memang belum sepenuhnya menyeluruh. Namun, dari survei awal tersebut ia meyakini bahwa dari 100 video pornoyang dianalisis mengandung banyak informasi.
»Dari analisis tidak ditemukan aktivitas homoseksual, namun terdapat aktivitas seksual lesbian,” kata dia. Sementara untuk perempuan dengan penampilan seksi menggunakan bikini tidak terlalu banyak ditemui.
Penelitian itu dikumpulkan dengan mengambil secara random file di sejumlah warung internet di Yogyakarta. »Saya mengambil secara random, dan 79,6 persen menampilkan sosok tubuh perempuan,” kata dia.
Sementara Rina Widarsih, Manajer Divisi Pendampingan, merasa prihatin dengan survei itu. Dia berpandangan perkembangan teknologi komunikasi memicu meningkatnya jumlah pengakses pornografi di kalangan remaja sehingga terjadi tindak perkosaan dan hubungan seksual di kalangan remaja. “Internet, hand phone menjadi perantara dan menjadi tools terjadinya hubungan sex,” kata dia.
Ia mensinyalir hal ini juga memberi dampak pada maraknya kasus perkosaan remaja seperti terjadi di Kabupaten Gunung Kidul, Bantul, dan Kulon Progo. »Semua terjadi dimulai dengan berkenalan melalui media online atau hand phone. Dari hubungan itu berlanjut saling berkomunikasi, kopi darat dan terjadilah tindak hubungan seksual,” kata dia.
Rina semakin prihatin manakala usia pelaku cenderung masih tergolong anak-anak, sekitar 7-10 tahun. Mereka telah melakukan hubungan seksual karena pengaruh video porno di rumah atau hand phone milik orang tua. “Inilah yang mempercepat anak-anak memiliki pengalaman-pengalaman seperti itu,” katanya.
Sementara itu pengamat Teknologi Informasi dan Komunikasi Wing Wahyu Winarno menolak jika perilaku remaja itu semua disebabkan kemajuan media komunikasi. Dia menjelaskan seks adalah kebutuhan natural manusia normal, hanya saja hal itu kini ditunjang adanya media komunikasi.
“Meski cukup sulit membatasi akses pornografi, tapi semua itu bisa dimulai dari lingkungan lebih dekat seperti keluarga. Makanya keluarga seharusnya juga melek teknologi,” kata dia.
No comments:
Post a Comment